E-book Hukum Pidana

Gambar Produk 1Gambar Produk 2Gambar Produk 3Gambar Produk 4
10000
    Hukum pidana merupakan salah satu mata kuliah dalam disiplin ilmu hukum yang memberikan
    pengetahuan dan pemahamaman bagi mahasiswa hukum pada khususnya. Dengan memahami hukum pidana berarti memahami tentang aturan-aturan hukum pidana materiil yang ada dalam hukum. Buku yang disusun oleh penulis ini merupakan sebuah upaya untuk memberikan sumbangsih fikiran dan ide dan dikembangkan menjadi sebuah buku yang dapat menjadi referensi bagai mahasiswa fakultas hukum, para akademisi dan para praktisi yang menekuni bidang hukum hukum pidana.
    Dalam buku ini terdiri dari XIII BAB diawali dengan memberikan pengertian dasar tentang Pengertian hukum pidana, fungsi dan tujuan hukum pidana, dasar-dasar pemidanaan, alaan dan maksud pemidanaan, sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia dan pada BAB selanjutnya dibahas tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, alasan penghapusan pidana, percobaan, penyertaan, pembarengan tindak pidana, recidive, pidana dan pemidaan, hapusnya hak penuntutan dan hak menjalankan pidana serta BAB terakhir membahas tentang pembaharuan hukum pidana.

    Bagaimana Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perkara Perdata?

    Analisis kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti elektronik, sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (4) menyebutkan bahwa alat bukti elektronik tidak dapat berlaku untuk hal-hal tertentu seperti:

    1.   Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis.

    2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

    Pemahaman yang dapat disimpulkan dari redaksi pasal di atas, bahwa suatu alat bukti elektronik tertentu yang dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang, harus dibuat secara tertulis atau harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau pejabat pembuat akta. Pengecualian mengenai kedudukan serta kekuatan alat bukti elektronik selain yang disebutkan pada pasal di atas, dinyatakan sah dan dapat diterima dalam proses pembuktian di pengadilan. Mengenai, kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu alat bukti elektronik, secara otomatis masih perlu untuk dikaji karena, hal ini tentu akan mengundang perbedaan pendapat di antara kalangan, sehingga secara normatif-positif kekuatan alat bukti elektronik dapat ditentukan.

    Rumusan redaksi pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE) dapat menjadi adanya peneguhan suatu hak atau perisitwa yang menjadi dasar adanya suatu persengketaan sebagaimana redaksi bunyi pasal 163 HIR/283 RBg. Rumusan pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”.

    Kedudukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat menjadi dasar adanya suatu persengketaan seperti rumusan pasal 7 di atas, menurut hemat penulis merupakan perluasan mengenai dasar gugatan/sengketa yang tercantum dalam hukum acara perdata pasal 163 HIR/283 RBg/1865 KUH Perdata. Rumusan pasal 7 yang mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai titik pangkal adanya suatu persengketaan, merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui undang-undang bagi pihak yang melakukan transaksi hubungan keperdataan di era globalisasi.

    Ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan yang secara sah dan tegas mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai dasar adanya suatu persengketaan, maka menurut hemat penulis, kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik harus ditentukan. Permasalahan mengenai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik selanjutnya dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penjelasan umum undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas”

    Kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik, oleh Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyatakan bahwa dokumen elektronik disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Hal ini, berarti bahwa kekuatan pembuktian dokumen elektronik dalam praktik perkara perdata dipersamakan dengan kekuatan alat bukti tulisan (surat). Penyetaraan kedudukan dokumen elektronik yang disetarakan dengan dokumen yang di buat di atas kertas, dapat memunculkan sebuah pertanyaan, yakni apakah salinan dokumen elektronik mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen asli, mengingat prinsip suatu dokumen elektronik tidak dapat dibedakan dengan dokumen yang asli, sebagaimana halnya foto copy sebagai sebuah salinan tentu dapat dibedakan dengan dokumen yang asli.

    Kedudukan salinan suatu dokumen elektronik menurut penjelasan umum pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyatakan prinsip penggandaan sistem elektronik mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan dengan salinannya, sehingga hal tersebut tidak relevan lagi untuk dibedakan. Mengenai hal tersebut, dapat dilihat penjelasan pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan penjelasan pasal 6 di atas menurut penulis, bahwa dokumen elektronik tidak memerlukan adanya suatu dokumen asli dalam proses pembuktian, sepanjang dokumen elektronik tersebut dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, serta dapat dipertanggung jawabkan untuk dapat menerangkan suatu keadaan, sebagaimana redaksi rumusan pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

    Kekuatan pembuktian dokumen elektronik yang disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas, menurut penjelasan umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), menurut penulis dipandang perlu untuk memahami kekuatan pembuktian alat bukti tertulis (surat) sebagaimana yang tercantum dalam KUH Perdata. Kekuatan pembuktian dokumen elektronik yang secara tegas diakui, dan disetarakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas, sangat memungkinkan untuk dilakukan, mengingat sifat dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat dialihkan kedalam beberapa bentuk atau dicetak dalam bentuk print out sehingga, dipersamakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Dokumen yang dibuat di atas kertas, dalam praktik hukum acara perdata, dikategorikan sebagai alat bukti tertulis (surat). Kedudukan alat bukti tertulis dalam praktik perkara perdata adalah termasuk kedalam alat bukti yang paling utama. Sudikno Mertokusumo membagi alat bukti tertulis (surat) ke dalam 2 (dua) kategori bentuk yakni, surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta.[2]

    Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembuktian perdata, yang menyatakan bahwa akta autentik adalah akta yang bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, serta dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang. Kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu akta autentik merupakan bukti sempurna dan mengikat bagi kedua belah pihak. Terhadap adanya cacat formil yang terkandung dalam sebuah akta autentik, maka kekuatan pembuktian yang melekat tersebut, hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta bawah tangan. Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta autentik meskipun bersifat sempurna, dan mengikat bagi kedua belah pihak tetap dimungkinkan untuk dilumpuhkan dengan adanya bukti lawan.

    Kedudukan informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang bersifat dapat dialihkan ke dalam beberapa bentuk media lainnya atau dapat di print out sehingga dapat berbentuk dokumen tertulis, jika dipersfektikan dalam ranah hukum acara perdata, tetap membuka peluang kemungkinan adanya bukti lawan (tegenbewijs). Penulis berpendapat bahwa hasil print out dari dokumen elektronik seperti, transaksi jual beli on line misalnya, kedudukan transkrip pembayaran elektronik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti adanya sengketa jual beli, tetap membuka kemungkinan adanya upaya untuk mengingkari keabsahan suatu alat bukti, dalam hal ini pihak yang mengingkari alat bukti transkrip tersebut dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa hasil print out transkrip elektronik tersebut tidak benar.

    Hemat penulis, alat bukti elektronik merupakan alat bukti sebagai perluasan jenis alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif dan bersifat terbatas baik yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, maupun dalam pasal 1866 KUH Perdata. Mengenai kekuatan pembuktian yang melekat dalam suatu alat bukti elektronik tertentu, penulis berpendapat bahwa alat bukti elektronik tetap memungkinkan untuk dilumpuhkan dengan adanya bukti lawan (tegenbewijs). Hal ini tidak berarti, bahwa alat bukti elektronik, mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat final yang tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti apapun.

    Kesimpulan

    Nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam suatu alat bukti elektronik secara yuridis-normatif dipersamakan dengan dokumen yang tertuang di atas kertas. Penegasan ini bermakna, bahwa kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik dalam perkara perdata dapat dipersamakan dengan kekuatan pembuktian alat bukti tertulis (surat). Kekuatan pembuktian elektronik memiliki nilai pembuktian yang sama dengan alat bukti yang diakui di pengadilan, masing-masing alat bukti memiliki kekuatan pembuktian tersendiri.